Pengaruh perilaku pola asuh ibu terhadap perkembangan anak
Perkembangan merupakan suatu proses yang menggambarkan perilaku kehidupan sosial psikologi manusia pada proses yang lebih luas dan kompleks. Perkembangan tersebut sebagai tugas yang harus dipelajari, dijalani, dan dikuasai oleh setiap individu dalam perjalanan hidupnya (Hartono dan Sunarto, 2002).
Anak memiliki perkembangan intelektual dan ketrampilan motorik yang cukup pesat yakni pada usia 3-5 tahun. Pada tahap usia ini, orang tua ikut andil dalam upaya merespon kesiapan dan kegairahan belajar anak. Ringkasan usia 3-5 tahun adalah saat penting bagi orang tua dalam merespon, melatih dan mengembangkan kemampuan psikomotorik dan intelektual balita (Triton PB, 2006). Perkembangan motorik anak akan lebih teroptimalkan jika lingkungan tempat tumbuh kembang anak mendukung mereka untuk bergerak bebas.
Kenyataannya banyak anak mengalami keterlambatan perkembangan psikomotorik karena hilangnya deteksi dini dan intervensi. Di Amerika Serikat, 17% anak memiliki kecacatan perkembangan atau perilaku seperti autis, cacat intelektual, dan hiperaktif. Di Indonesia yang berpenduduk 200 juta, hingga saat ini belum diketahui berapa persisnya jumlah penderita namun diperkirakan jumlah anak autis dapat mencapai 150 -–200 ribu orang. Karena keterlambatan perkembangan tersebut, banyak pula anak pra sekolah yang mengalami kesulitan belajar. Di Amerika Serikat dan Eropa insiden kesulitan belajar kurang lebih 10-15% dari populasi anak. Di Indonesia belum ada laporan mengenai prevalensi kesulitan belajar diduga secara keseluruhan sebanyak 6-12% pada anak usia sekolah ( Kesimpulan.com, 2009 ).
Selain itu, kekerasan terhadap anak-anak juga sering terjadi di sekitar kita tidak saja dilakukan oleh luar lingkungan keluarga anak, namun juga dilakukan oleh lingkungan keluarga anak sendiri yakni orang tua. Data resmi Israel sebelumnya menyatakan tingginya tingkat kekerasan terhadap anak-anak di Israel selama bertahun-tahun, dan selama periode antara 2005-2008, tingkat kekerasan terhadap anak-anak mencapai hingga 71,5%. Selama tahun 2005, Komnas Perlindungan Anak mencatat terjadinya 688 kasus kekerasan pada anak, 381 meliputi kekerasan fisik dan psikologis. Dan yang paling ironis adalah bahwa 80 persen pelaku kekerasan adalah ibu kandung korban. Sedangkan balita terlantar pada tahun 2005 tercatat ada 1.138.126 anak dan anak terlantar ada 3.308.642 orang. Diperkirakan pula setiap 1-2 menit terjadi kekerasan pada anak di Indonesia. (Rawins, 2008).
Masa anak merupakan periode perkembangan yang cepat dan dapat terjadinya perubahan dalam banyak aspek perkembangan. Untuk mendapatkan anak yang sehat, cerdas dan sesuai dengan tumbuh kembangnya membutuhkan pemenuhan semua kebutuhan fisik, psikologis, social dan spiritualnya ( Achmad, 2009 ). Orang tua terutama ibu adalah contoh atau model bagi anak, orang tua mempunyai pengaruh yang sangat kuat bagi anak ini dapat di lihat dari bagaimana orang tua mewariskan cara berpikir kepada anak-anaknya, orang tua juga merupakan monitor pertama bagi anak yang menjalin hubungan dan memberikan kasih sayang secara mendalam, baik positif atau negatif. Pengalaman masa kecil mempunyai pengaruh yang kuat terhadap perkembangan berikutnya. Pada umur 2-4 tahun anak ingin bermain, melakukan latihan berkelompok, melakukan penjelajahan, bertanya, menirukan, dan menciptakan sesuatu. Kegagalan penyediaan lingkungan yang mendukung dan memadai bagi perkembangan jiwa anak akan mengakibatkan gangguan perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial bagi anak.
Pengasuh adalah seseorang yang mendampingi dan membimbing semua tahapan pertumbuhan anak, yang merawat, melindungi, mengarahkan kehidupan baru anak dalam setiap tahapan perkembangannya (Oktavina, 2009)
Pengasuh erat kaitannya dengan kemampuan suatu keluarga atau rumah tangga dan komunitas dalam hal memberikan perhatian, waktu dan dukungan untuk memenuhi kebutuhan fisik, mental, dan social anak-anak yang sedang dalam masa pertumbuhan serta bagi anggota keluarga lainnya.
Tipe Pengasuhan Orang Tua
Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Baumrind (Santrock, 1998) mengenai perkembangan sosial dan proses keluarga yang telah dilakukan sejak pertengahan abad ke 20, yang kemudian membagi kategori bentuk pola asuh berkaitan dengan perilaku remaja. Secara garis besar terdapat tiga pola yang berbeda diantaranya yakni authoritative atau demokratis, authoritarian atau otoriter, dan permissive ( Ismira, 2008 ).
1.Otoriter
Orang tua berusaha membentuk, mengendalikan dan mengevaluasi perilaku serta sikap anak berdasarkan serangkaian standar mutlak, nilai-nilai kepatuhan, menghormati otoritas, kerja, tradisi, tidak saling memberi dan menerima dalam komunikasi verbal. Terkadang orang tua menolak anak dan sering menerapkan hukuman.
2.Autoritatif / Demokrasi
Orang tua berusaha mengarahkan anaknya secara rasional, berorientasi pa da masalah yang dihadapi, menghargai komunikasi yang saling memberi dan menerima, menjelaskan alasan yang rasional yang mendasari tiap-tiap permintaan atau disiplin tetapi juga menggunekan kekuasaan bila perlu, mengharapkan anak untuk mematuhi orang dewasa tetapi juga mengharapkan anak untuk mandiri dan mengarahkan diri sendiri, saling menghargai antara anak dan orang tua, memperkuat standar-standar perilaku.
3.Permisif
Orang tua berusaha berperilaku menerima dan bersikap positif terhadap impuls (dorongan emosi), keinginan dan perilaku anaknya, hanya sedikit menggunakan hukuman, berkonsultasi kepada anak hanya sedikit memberikan tanggung jawab rumah tangga, membiarkan anak untuk mengatur aktivit asnya, sendiri dan tidak mengontrol, berusaha mencapai sasaran tertentu dengan memberikan alasan (Widyarini, 2009).
Pengaruh Keluarga Terhadap Perkembangan
Keluarga merupkan institusi pendidikan primer bagi seorang anak. Pada institusi primer inilah seorang anak mendapatkan pengasuhan. Keberhasilan seorang anak dalam hubungan sosialnya tergantung pada pola pengasuhan yang diterapkan orangtua dalam keluarga. Pada umumnya pengasuhan diwujudkan dalam bentuk merawat, memelihara, mengajar, dan membimbing anak.
Hubungan yang sehat antara orang tua dan anak (penuh perhatian dan kasih sayang) memfasilitasi perkembangan anak, sedangkan hubungan yang tidak sehat mengakibatkan anak akan mengalami kesulitan atau kelambatan dlam perkembanga. Hubungan yang tidak sehat itu bisa berupa sikap orang tua yang kasar atau keras, kurang kasih saying atau kurang perhatian untuk memberikan latihan.
Bila tidak ingin memiliki anak dengan perilaku buruk, maka perlu kuatkan hubungan emosi dengan si buah hati. Penelitian menunjukkan, anak yang diasuh dalam rasa aman dan kedekatan emosi yang erat dengan ibunya akan tumbuh menjadi anak dengan perilaku baik.. Analisa yang dilakukan Dr Pasco Fearon dari School of Psychology dan Clinical Languge Sciences terhadap 69 studi yang melibatkan lebih dari 6000 anak pra remaja, menunjukkan kualitas hubungan anak, terutama anak laki-laki dengan ibunya di masa kecil berpengaruh kuat pada pembentukan perilaku anak. Anak yang besar dalam perasaan tidak aman dan kurang mendapat motivasi dan dukungan dari orang yang mengasuhnya, akan tumbuh jadi anak yang "tak bermasalah". Sebaliknya, anak yang merasa tidak dicintai, ditolak, dan kurang didukung, menjadi anak berperilaku buruk (kompas.com, 2010).
Selain itu, orang tua perlu menyadari bahwa orang tua adalah model bagi anak-anaknya. Sikap orangtua akan direkam dalam ingatan anak. Sikap orangtua terhadap rumah, keluarga, dan orang lain, terekam dengan baik dalam memori anak. Oleh sebab itu, mulailah menjadi orangtua yang patut ditiru. Sikap yang santun, berempati dan menghargai orang lain akan menjadi teladan bagi anak.
Penilaian Perkembangan Anak
Menurut (Rusmil, 2006: 48) Skrining/ pemeriksaan perkembangan anak ditujukan untuk mengetahui perkembangan anak normal atau ada penyimpangan.Kegiatan skrining ini dilakukan secara terjadwal mulai umur 3 bulan, dan dilanjutkan dalam rentang 3 bulan berikutnya sampai umur 72 bulan.
Adapun instrumen yang digunakan dalam proses skrining perkembangan anak adalah :
1.Formulir KPSP (Kuesioner Pra Skrining Perkembangan) menurut umur. Formulir ini berisi 9-10 pertanyaan tentang kemampuan perkembangan yang telah dicapai anak. Sasaran KPSP adalah anak umur 0-72 bulan.
2.Alat bantu pemeriksaan
Alat bantu dapat berupa pensil, kertas, bola sebesar bola tenis, kubus berukuran sisi 2,5 cm sebanyak 6 buah, kismis, kacang tanah, dan potongan biskuit kecil berukuran 0,5- 1 cm.
Penilaian perkembangan anak dengan menggunakan KPSP dilakukan dengan cara :
1.Pada waktu pemeriksaan/ skrining, anak harus dibawa.
2.Tentukan umur anak dengan menanyakan tanggal, bulan dan tahun anak lahir. Bila umur anak lebih 16 hari dibulatkan menjadi 1 bulan.
3.Setelah menentukan umur anak, pilih KPSP yang sesuai dengan umur anak.
4.KPSP terdiri dari 2 macam pertanyaan, yaitu :
•Pertanyaan yang dijawab oleh ibu/ pengasuh anak, contohnya :”Dapatkah anak berpakaian sendiri?”
•Perintah kepada ibu/ pengasuh anak atau petugas untuk melaksanakan tugas yang tertulis pada KPSP. Contoh :”Pada posisi bayi terlentang, tariklah bayi pada pergelangan tangannya secara perlahan- lahan ke posisi duduk.”
5.Jelaskan kepada orang tua agar tidak ragu- ragu atau takut menjawab, oleh karena itu pastikan ibu/ pengasuh anak mengerti apa yang ditanyakan kepadanya.
6.Tanyakan pertanyaan tersebut secara berurutan, satu persatu. Setiap pertanyaan hanya ada satu jawaban,’ya’ atau ‘tidak’. Catat jawaban tersebut pada formulir.
7.Ajukan pertanyaan yang berikutnya setelah ibu/ pengasuh anak menjawab pertanyaan terdahulu.
8.Teliti kembali apakah semua pertanyaan telah dijawab.
Hasil skrining menggunakan KPSP dapat diinterpretasikan sebagai berikut :
1.Hitunglah berapa jumlah jawaban Ya
•Jawaban ’ya’, bila ibu/ pengasuh anak menjawab : anak bisa atau pernah atau sering atau kadang- kadang melakukannya.
•Jawaban ’tidak’, bila ibu/ pengasuh anak menjawab : anak belum pernah melakukan, atau tidak pernah atau ibu/ pengasuh anak tidak tahu.
2.Jumlah jawaban ’ya’=9 atau 10, perkembangan anak sesuai dengan tahap perkembangannya (S)
3.Jumlah jawaban ’ya’ = 7 atau 8, perkembangan anak meragukan (M)
4.Jumlah ’tidak’, perlu dirinci jumlah jawaban ’tidak’ menurut jenis keterlambatan (gerak kasar, gerak halus, bicara dan bahasa, sosialisasi dan kemandirian)
Setelah hasil skrining dengan menggunakan KPSP diinterpretasikan dan perkembangan anak diketahui baru dapat dilakukan intervensi terhadap perkembangan anak sebagai berikut :
1.Bila perkembangan anak sesuai umur (S)
•Beri pujian kepada ibu karena telah mengasuh anaknya dengan baik
•Teruskan pola asuh anak sesuai dengan tahapan perkembangan anak
•Beri stimulasi perkembangan anak setiap saat sesering mungkin, sesuai dengan umur dan kesiapan anak
•Ikutkan anak pada kegiatan penimbangan dan pelayanan kesehatan di posyandu secara teratur sebulan sekali dan setiap ada kegiatan Bina Keluarga Balita (BKB). Jika anak sudah memasuki usia prasekolah (36- 72 bulan), anak dapat diikutkan pada kegiatan di Pusat Pendidikan anak Dini Usia (PADU), Kelompok Bermain dan Taman Kanak-kanak.
•Lakukan pemeriksaan rutin menggunakan KPSP setiap anak berumur kurang dari 24 bulan dan setiap 6 bulan pada umur 24 sampai 72 bulan.
2.Bila perkembangan anak meragukan (M)
•Beri petunjuk pada ibu agar melakukan stimulasi perkembangan pada anak lebih sering lagi, setiap saat dan sesering mungkin.
•Ajarkan ibu cara melakukan intervensi stimulasi perkembangan anak untuk mengatasi penyimpangan / mengejar ketinggalannya.
•Lakukan pemeriksaan kesehatan untuk mencari kemungkinan adanya penyakit yang menyebabkan penyimpangan perkembangannya.
•Lakukan penilaian ulang KPSP 2 minggu kemudian dengan menggunakan daftar KPSP yang sesuai dengan umur anak.
•Jika hasil KPSP ulang jawaban ’ya’ tetap 7 atau 8 maka kemungkinan ada penyimpangan (P)
3.Bila tahapan perkembangan terjadi penyimpangan (P)
•Rujukan ke Rumah Sakit dengan menuliskan jenis dan jumlah penyimpangan perkembangan (gerak kasar, gerak halus, bicara dan bahasa, serta sosialisasi dan kemandirian)
(Dep.Kes. RI, 2005)